Dr. Ida Budhiati, SH., MH., menjadi anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu paling senior. Bukan dari segi usia, karena umur perempuan asal Semarang itu pada 23 November lalu baru 46 tahun. Melainkan dari masa jabatan di DKPP, Ida menjabat sejak 2012 atau saat kepemimpinan Profesor Jimly Asshiddiqie. Kala itu dia merupakan perwakilan Komisi Pemilihan Umum, dan sekarang perwakilan masyarakat yang dipilih pemerintah.
Ikut mengadili berbagai kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu, peraih master hukum dari Universitas Diponegoro Semarang itu ikut berperan dalam menentukan nasib personel KPU dan Bawaslu dari pusat hingga daerah. Sejak DKPP dibentuk pada 2012 hingga akhir Oktober 2017, DKPP sudah menyidangkan 903 perkara. Hasilnya, 449 penyelenggara pemilu diberhentikan tetap, 1968 direhabilitasi dan 45 orang diberhentikan sementara.
Menurut Ida, pemberian sanksi itu bukan merupakan prestasi DKPP. Justru, lebih menunjukkan perlunya perbaikan mekanisme seleksi oleh penyelenggara pemilu. Terutama, di tingkat kabupaten dan kota. “Data menunjukkan, yang paling banyak diadukan itu di level kabupaten atau kota,” katanya.
Dia mencontohkan, ada 17 pengaduan terhadap penyelenggara pemilu di Tolikara, Papua. Tapi, DKPP tidak sembarangan menjatuhkan sanksi. Tiadanya bukti pelanggaran membuat DKPP tak memberi sanksi ke penyelenggara pemilu tersebut. Lain waktu, DKPP terpaksa memberhentikan penyelenggara pemilu di Jayapura, Papua. Tak lama setelah penyelenggara baru terpilih, DKPP juga memberi sanksi pemecatan karena penyelenggara yang baru terbukti melanggar kode etik.
Mantan anggota KPU Jawa Tengah itu menilai pengaduan dugaan pelanggaran kode etik bisa dihindari jika penyelenggara pemilu mampu bekerja dengan penuh integritas. “Integritas itu berarti bekerja secara profesional, mandiri, cermat, teliti, jujur, dan adil,” katanya.
Banyaknya pengaduan, ujar Ida, menunjukkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu. Karena itu, penyelenggara pemilu perlu membangun kepercayaan masyarakat sehingga hasil pemilu bisa diterima dengan lapang dada. Selama ini, pengaduan DKPP dilakukan setelah seluruh upaya hukum, seperti sengketa ke Mahkamah Konstitusi, tidak berhasil.
Kandidat doktor hukum dari Universitas Diponegoro dengan promotor mantan Ketua MK Mohammad Mahfud MD. itu menilai Pemilihan Umum 2019 bakal memberi tantangan lebih untuk penyelenggara pemilu dan juga DKPP. Tantangan itu berbeda dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebabnya, penyelenggara juga menghadapi Pilkada Serentak 2018, dan ada desain baru penyelenggaraan pemilu legislatif serta pemilu presiden secara serentak.
“Jadi aspek regulasinya tentu banyak berubah, demikian juga tata kelola manajemen penyelenggaraan pemilunya,” ujar perempuan yang cukup lama menggeluti profesi sebagai pengacara publik ini. Toh Ida berulang kali menyampaikan agar para penyelenggara pemilu tak perlu cemas. Yang terpenting, mereka tetap cermat dan teliti dalam mengambil keputusan. Termasuk, terbuka terhadap publik dan siap memberi penjelasan atas apa yang dikerjakan.
Tantangan serupa juga berlaku untuk DKPP. Ida menilai bakal ada banyak laporan menjelang akhir tahun karena tahapan pilkada dimulai pada Juni 2017. “Kita semua harus bergerak cepat,” katanya.